Peresensi
: Noval As-Shidiqi
Judul : Akulah Angin Engkaulah Api (Hidup dan
Karya
Jalaluddin Rumi)
Penulis
: Annemarie
Schimmel
Penerjemah
: Alwiyah
Abdurrahman dan Ilyas
Hasan
Penerbit
: Mizan,
Bandung
Cetakan
: Edisi
keempat: Cetakan 1
Tebal : 278
hlm; 23,5 cm
ISBN : 978-979-433-986-2
Harga : Rp44.000,00
Sebelum masuk kepada pembahasan mari kita mengenal
asal usul dan sejarah dari pengarang buku ini yang bernama Prof. Dr. Annemarie
Schimmel (1922) adalah seorang sarjana Jerman terkemuka dan paling berpengaruh,
yang menulis secara ekstensif tentang Islam. Pada usia 21, dia mendapat gelar
doktor bidang bahasa dan peradaban Islam dari Universitas Berlin. Pada usia 23,
dia menjadi profesor kajian Islam dan Arab di Universitas Marburg. Fase penting
dalam hidupnya terjadi pada 1954 ketika dia diangkat menjadi profesor Sejarah
Agama di Universitas Ankara, Turki. Di negeri ini Schimmel menghabiskan
waktunya selama lima tahun untuk mengajar dan mengkaji secara intesif tradisi
spiritual yang berkembang di Turki. Ketika menjadi proffesor Sejarah Agama di
universitas ini, Schimmel sering mengadakan kunjungan ke konya, tempat
dimakamkannya sang Maulana. Pada acara peringatan hari lahir Rumi, 17 Desember
1954, dia diberi kehormatan untuk menyampaikan kuliah pembuka. Kegiatan itu
baru mulai diselenggarakan kembali setelah lama dilarang oleh pemerintah Turki.
Di sanalah untuk pertama
kalinya Schimmel mendapat kesempatan menyaksikan tarian berputar (sama’).
Pengalaman ini membuat Rumi semakin hidup dalam diri Schimmel, menjadi sumber
inspirasi dan penenang hatinya hingga wafat.
Beberapa bab telah saya
ambil yang mungkin sudah dapat kita saring artinya walau tidak semua salah
satunya yang pertama berjudul “Ekspresi Puitis”. Dalam kata yang syairkan
oleh Rumi yang berbunnyi
“Di manakah aku, di manakah puisi
Tetapi orang Turki membisikku:
Hai, siapakah engkau?” (D 1949)
Bait di atas, yang
ditulis dalam bahasa Turki, mengungkapkan sikap Maulana terhadap syairnya
sendiri: dia tidak sepenuhnya mengerti bagaimana dia bisa menjadi seorang
penyair. Pernyataan tidak menghendaki, yang dalam Fihi ma Fihi, yang
mengatakan bahwa dia menulis syair guna menghibur sahabat-sahabatnya, seolah-olah
“seseorang harus mencuci dan membersihkan daging babat karena tamu-tamunya
menginginkan makanan tersebut”, benar-benar mengejutkan, karena kata-kata itu
keluar dari seseorang yang telah menulis hampir empat puluh ribu syair liris
dan lebih dari dua puluh lima ribu baris syair didaktik. Akan tetapi, harus
diingat bahwa puisi, bagi orang Islam yang taat, adalah sesuatu yang
hampir-hampir dianggap amoral. Karena, puisi pada zaman pra-Islam berhubungan
dengan ilmu sihir dan pada umumnya sering berhubungan dengan hal-hal yang
diharamkan seperti minuman anggur dan percintaan bebas.
Bab selanjutnya berjudul “Mutiara
yang Tersembunyi”. Yang menjadi basis, pusat, dan tujuan pemikiran Maulana
adalah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Tak Terbatas, yang Zat-Nya tak pernah
dapat terjangkau, tetapi tak pernah harus menjadi tema pemikiran dan diskusi.
Maulana memandang-Nya sebagai Tuhan Al-Quran dan terutama sebagai Tuhan seperti
yang digambarkan Ayat ‘Arsy (QS Al-Baqarah : 255), yang menyebut-Nya Al-Hayy
Al-Qayyum (Yang Mahahidup lagi Mahamandiri). Dia bukanlah primacausa, yang
tidak tergerakkan yang ada di balik segala sesuatu dan yang berada jauh dari
alam yang telah diciptakan-Nya melalui firman-Nya; tetapi Dia sumber segala
cinta atau barangkali bahkan Cinta yang dinamis itu Sendiri dan akhirnya bahkan
melampaui manifestasi-manifestasi Cinta.
Dalam sebuah hadits qudsi, firman Allah di luar Al-Quran, Allah menyebut
diri-Nya Sendiri dengan sebutan harta yang tersembunyi:”Akulah harta
tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka, maka Aku ciptakan alam ini!” (kuntu
kanzan makhfiyyan ...). Kadang-kadang frasa “Aku ingin diketahui”, di kalangan
sufi, diganti dengan “Aku ingin dicintai”. Allah adalah harta keindahan.
Keindahan ini merefleksikan diri-Nya di alam ini, yang dapat dilihat sebagai
cermin bagi-Nya. Asalkan yang dilihat adalah sisi yang menghadap ke arah Allah.
Bab selanjutnya berjudul
“Manifestasi Cinta” terdapat sebuah syair untuk memulainya:
“”Bagaimana keadaan sang pencinta?”
Tanya seorang lelaki.
Kujawab, “Jangan bertanya seperti itu, sobat:
Bila engkau seperti aku, tentu engkau akan tahu;
Ketika Dia memanggilmu,
Enggkau pun akan memanggil-Nya!” (D 2733)
Bagaimana menerangkan
Cinta? Akal yang berusaha menjelaskannya adalah seperti keledai di dalam paya.
Dan pena yang berusaha menggambarkannya akan hancur berkeping-keping. Begitulah
kata Maulana dalam bagian pendahuluan matsnawi, dalam menguraikan
penahbisan di mana Husamuddin muda bertanya kepada sang penyair bagaimana
hubungan Maulana dengan Syams (Matahari), yang jika dibandingkan dengan Syams
ini “matahari di langit ke empat tak lain adalah atom”.
Banyak
pelajaran yang dapat kita ambil dalam buku ini mengenai hakikat dan esensi
cinta yang tentunya tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa. Peresensi sangat
tertarik dengan buku ini dari mulai cover yang terasa hidup dengan warna yang
indah dan kualitas kertas cukup baik. Akan tetapi buku ini mempunyai sedikit
kelemahan yaitu bahasa yang di gunakan mungkin bagi orang awam, mereka akan
sedikit sulit untuk memahami dan menerjemahkan kata-kata dalam buku ini.
No comments:
Post a Comment