Saturday, 24 December 2016

Resensi buku Akulah Angin Engkaulah Api (Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi)


Peresensi : Noval As-Shidiqi

Judul : Akulah Angin Engkaulah Api (Hidup dan
Karya Jalaluddin Rumi)
Penulis : Annemarie Schimmel
Penerjemah : Alwiyah Abdurrahman dan Ilyas
                    Hasan
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Edisi keempat: Cetakan 1
Tebal : 278 hlm; 23,5 cm
ISBN : 978-979-433-986-2
Harga : Rp44.000,00



Sebelum masuk kepada pembahasan mari kita mengenal asal usul dan sejarah dari pengarang buku ini yang bernama Prof. Dr. Annemarie Schimmel (1922) adalah seorang sarjana Jerman terkemuka dan paling berpengaruh, yang menulis secara ekstensif tentang Islam. Pada usia 21, dia mendapat gelar doktor bidang bahasa dan peradaban Islam dari Universitas Berlin. Pada usia 23, dia menjadi profesor kajian Islam dan Arab di Universitas Marburg. Fase penting dalam hidupnya terjadi pada 1954 ketika dia diangkat menjadi profesor Sejarah Agama di Universitas Ankara, Turki. Di negeri ini Schimmel menghabiskan waktunya selama lima tahun untuk mengajar dan mengkaji secara intesif tradisi spiritual yang berkembang di Turki. Ketika menjadi proffesor Sejarah Agama di universitas ini, Schimmel sering mengadakan kunjungan ke konya, tempat dimakamkannya sang Maulana. Pada acara peringatan hari lahir Rumi, 17 Desember 1954, dia diberi kehormatan untuk menyampaikan kuliah pembuka. Kegiatan itu baru mulai diselenggarakan kembali setelah lama dilarang oleh pemerintah Turki.
          Di sanalah untuk pertama kalinya Schimmel mendapat kesempatan menyaksikan tarian berputar (sama’). Pengalaman ini membuat Rumi semakin hidup dalam diri Schimmel, menjadi sumber inspirasi dan penenang hatinya hingga wafat.
          Beberapa bab telah saya ambil yang mungkin sudah dapat kita saring artinya walau tidak semua salah satunya yang pertama berjudul “Ekspresi Puitis”. Dalam kata yang syairkan oleh Rumi yang berbunnyi
Di manakah aku, di manakah puisi
 Tetapi orang Turki membisikku:
 Hai, siapakah engkau?” (D 1949)
          Bait di atas, yang ditulis dalam bahasa Turki, mengungkapkan sikap Maulana terhadap syairnya sendiri: dia tidak sepenuhnya mengerti bagaimana dia bisa menjadi seorang penyair. Pernyataan tidak menghendaki, yang dalam Fihi ma Fihi, yang mengatakan bahwa dia menulis syair guna menghibur sahabat-sahabatnya, seolah-olah “seseorang harus mencuci dan membersihkan daging babat karena tamu-tamunya menginginkan makanan tersebut”, benar-benar mengejutkan, karena kata-kata itu keluar dari seseorang yang telah menulis hampir empat puluh ribu syair liris dan lebih dari dua puluh lima ribu baris syair didaktik. Akan tetapi, harus diingat bahwa puisi, bagi orang Islam yang taat, adalah sesuatu yang hampir-hampir dianggap amoral. Karena, puisi pada zaman pra-Islam berhubungan dengan ilmu sihir dan pada umumnya sering berhubungan dengan hal-hal yang diharamkan seperti minuman anggur dan percintaan bebas.
          Bab selanjutnya berjudul “Mutiara yang Tersembunyi”. Yang menjadi basis, pusat, dan tujuan pemikiran Maulana adalah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Tak Terbatas, yang Zat-Nya tak pernah dapat terjangkau, tetapi tak pernah harus menjadi tema pemikiran dan diskusi. Maulana memandang-Nya sebagai Tuhan Al-Quran dan terutama sebagai Tuhan seperti yang digambarkan Ayat ‘Arsy (QS Al-Baqarah : 255), yang menyebut-Nya Al-Hayy Al-Qayyum (Yang Mahahidup lagi Mahamandiri). Dia bukanlah primacausa, yang tidak tergerakkan yang ada di balik segala sesuatu dan yang berada jauh dari alam yang telah diciptakan-Nya melalui firman-Nya; tetapi Dia sumber segala cinta atau barangkali bahkan Cinta yang dinamis itu Sendiri dan akhirnya bahkan melampaui manifestasi-manifestasi Cinta.
Dalam sebuah hadits qudsi, firman Allah di luar Al-Quran, Allah menyebut diri-Nya Sendiri dengan sebutan harta yang tersembunyi:”Akulah harta tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka, maka Aku ciptakan alam ini!” (kuntu kanzan makhfiyyan ...). Kadang-kadang frasa “Aku ingin diketahui”, di kalangan sufi, diganti dengan “Aku ingin dicintai”. Allah adalah harta keindahan. Keindahan ini merefleksikan diri-Nya di alam ini, yang dapat dilihat sebagai cermin bagi-Nya. Asalkan yang dilihat adalah sisi yang menghadap ke arah Allah.
          Bab selanjutnya berjudul “Manifestasi Cinta” terdapat sebuah syair untuk memulainya:
“”Bagaimana keadaan sang pencinta?”
Tanya seorang lelaki.
Kujawab, “Jangan bertanya seperti itu, sobat:
Bila engkau seperti aku, tentu engkau akan tahu;
Ketika Dia memanggilmu,
Enggkau pun akan memanggil-Nya!” (D 2733)
          Bagaimana menerangkan Cinta? Akal yang berusaha menjelaskannya adalah seperti keledai di dalam paya. Dan pena yang berusaha menggambarkannya akan hancur berkeping-keping. Begitulah kata Maulana dalam bagian pendahuluan matsnawi, dalam menguraikan penahbisan di mana Husamuddin muda bertanya kepada sang penyair bagaimana hubungan Maulana dengan Syams (Matahari), yang jika dibandingkan dengan Syams ini “matahari di langit ke empat tak lain adalah atom”.
          Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dalam buku ini mengenai hakikat dan esensi cinta yang tentunya tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa. Peresensi sangat tertarik dengan buku ini dari mulai cover yang terasa hidup dengan warna yang indah dan kualitas kertas cukup baik. Akan tetapi buku ini mempunyai sedikit kelemahan yaitu bahasa yang di gunakan mungkin bagi orang awam, mereka akan sedikit sulit untuk memahami dan menerjemahkan kata-kata dalam buku ini.

No comments:

Post a Comment